Kamis, 05 Agustus 2010

Aktivitas Ritmik

AKTIVITAS RITMIK (Bagian I)
Oleh : Bambang Rusjianto, S.Pd.

ABSTRAK
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan sebagai salah satu mata pelajaran yang harus dilaksanakan di sekolah, berkembang mengikuti dan sesuai dengan kurikulum pendidikan yang dikembangkan di Indonesia.
BAB I
PENGANTAR

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan sebagai salah satu mata pelajaran yang harus dilaksanakan di sekolah, berkembang mengikuti dan sesuai dengan kurikulum pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Pengembangan kurikulum yang secara umum “katanya“ disesuaikan dengan perkembangan jaman dan melalui riset yang mendalam, membawa konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan yang tidak hanya sekedar pada perubahan nama, melainkan juga pada tatanan kurikulum serta perangkat dan isi yang terkandung di dalamnya.
Perubahan nama pada setiap mata pelajaran termasuk di dalamnya “pendidikan jasmani” “pendidikan gerak” “gerak badan” “pendidikan olahraga” “olahraga pendidikan” “pendidikan olahraga dan kesehatan” “pendidikan jasmani dan olahraga” “pendidikan jasmani dan kesehatan” “pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan” atau apalah namanya, tentu berimplikasi pada perubahan substansi yang akan disajikan. Perihal yang seperti inilah yang terkadang terlewatkan, karena nyatanya perubahan nama mata pelajaran terutama pendidikan jasmani sering kali tidak terlebih dahulu menilik dan mendasarkan pada azas dan falsafah ilmu yang melandasinya. Jika kita berbicara mengenai mata pelajaran ini, maka dasar landasannya adalah ilmu keolahragaan yang salah satu mata kajiannya adalah “sosiokinetika” atau yang diartikan secara harfiah sebagai pendidikan jasmani (pohon ilmu keolahragaan, sebagai ilmu mandiri). Belum lagi berbicara mengenai potensi pendidik yang dimiliki negeri ini, yang menyangkut modal dasar yang diperoleh oleh calon guru pendidikan jasmani ketika menempuh pendidikan keguruan, serta sekian banyak sub sistem bagi terselenggarakannya pendidikan jasmani di sekolah secara ideal.
Kebijakan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi yang dalam pelaksanaannya dapat disusun dan dikembangkan pada tingkat satuan pendidikan (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)), mata pelajaran pendidikan jasmani dengan pembatasan enam ruang lingkup pendidikan gerak dan satu pendidikan kesehatan, merupakan bukti betapa perubahan (mata pelajaran pendidikan jasmani) tidak memperhatikan keterbatasan potensi yang dimiliki oleh guru mata pelajaran ini di Indonesia. Salah satu contoh nyata adalah ketidakmungkinan seorang guru pendidkan jasmani memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai penanggulangan bencana alam, kebakaran, HIV – Aids, hingga perilaku seks bebas pada remaja. Walaupun dengan alasan, bahwa tidak semua kompetensi dasar yang dituliskan harus dipenuhi, dan seiring berjalannya waktu, bagi guru diberikan “in service training” untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya, tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah “seberapa banyak dan cepat guru mampu memahami hal ini (memilih kompetensi dasar), dan seberapa banyak guru yang mendapat kesempatan untuk itu (pendidikan dan pelatihan dalam in service training)?”
Sebagai bagian dari pihak yang harus turut bertanggung jawab dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas profesionalisme guru pendidikan jasmani di tanah air, penulis menyampaikan permasalahan di atas sebagai otokritik, sehingga semua pihak menyadari kenyataan yang ada, dan akhirnya berusaha bersama untuk mencari pemecahan masalah, atau paling tidak mengurangi permasalahan dan mencegah timbulnya permasalahan baru.
Kehadiran tulisan dalam bentuk cerita yang disajikan secara ringan ini, dimaksudkan untuk memberikan tambahan sumber informasi bagi guru terutama, serta siapapun yang memerlukannya tanpa harus merasa “digurui”, sehingga setidaknya dapat memenuhi keinginan untuk mengurangi permasalahan yang harus dihadapi oleh guru pendidikan jasmani atau pihak-pihak terkait lainnya.
Buku ini membahas tentang berbagai hal yang berhubungan dengan senam aerobik sebagai salah satu sub ruang lingkup aktivitas ritmik dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, dalam KTSP, serta senam aerobik secara umum yang dapat dilakukan oleh siapapun. Bagian-bagian dalam buku ini terdiri dari cerita ringan mengenai masuknya senam aerobik sebagai salah satu aktivitas ritmik dalam mata pelajaran, apa dan bagaimana melakukan senam aerobik, bagaimana menyelengggarakan pembelajaran dan pelatihan senam aerobik, serta bagaimana melakukan penilaian senam aerobik baik dalam pembelajaran, pelatihan, maupun perlombaan.
“Selamat pagi!” suara Pak Umar yang pagi itu raut mukanya tampak cerah ceria laksana penjudi yang habis menang lotre terdengar mengawali pembicaraan dengan Pak Bakri. “Pagi Pak!”, Sahut guru setengah baya yang sudah 6 tahun ini mengajar “olahraga” berlebel PNS, di SMP Negeri Pucanganom, sekolah di tengah sawah di sebuah kecamatan yang tidak terlalu terpencil di tanah air yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan pagar kuburan “winingit” sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang kampung setempat.
“Piye (bagaimana) Pak?” tanya Pak Bakri. “Apane sing piye?” Pak Umar balik bertanya. “Loh, panjenengan rak habis nderek sosialisasi KTSP di MGMP toh, mbok ya cerita, idhep-idhep pengimbasan dengan rekan sejawat gitu loh!” tegas Pak Bakri.
“Ooo..., masalah itu, makin lama jadi guru rasanya kok makin susah!” keluh Pak Umar yang umurnya baru sekitar empat puluhan dan baru serius mengajar di sekolah selama kurang lebih sepuluh tahun, tapi merasa sudah tua dan lama sekali menjalankan profesi sebagai pengajar. Perlu diketahui bahwa Pak Umar beberapa tahun setelah tamat dari Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, jurusan POR tidak langsung mengajar, tetapi lebih sering tarkam bolavoli dan sesekali menjadi pelatih PORDA di kabupatennya, memulai cerita.
“Loh kok gitu?” sergah Pak Bakri, “Iya, lha wong beberapa bulan lalu kita baru mau coba serius ngembangin kurikulum KBK, lha kok tiba-tiba kita harus ganti kurikulum KTSP. Masih lebih baik ada pameo setiap ganti menteri, ganti kurikulum, lha ini belum sempet ganti tas yang isinya dokumen KBK, eh.... nongol KTSP.” lanjut Pak Umar dengan cassing mukanya yang setipe dengan hape keluaran tahun sembilan puluhan. “Biasanya kritis Pak?” tanya Pak Bakri, “panjenengan kan biasanya langsung protes kalau ada hal yang ngga cocok?”
“Iya!” jawab Pak Umar yang merasa mendapat angin untuk show of apa yang dia sudah lakukan. “Terus jawab Pak instrukturnya?” kejar Pak Bakri yang kalau penasaran lama-lama mirip petugas sensus yang dikejar target laporan.
“Beliau sich jawabannya diplomatis, katanya ganti kurikulum bukan urusan ganti menteri atau pejabat, bukan urusan proyek-proyekan karena pejabat dan instansi terkait pasti punya banyak kegiatan ketika ada “barang” baru yang harus disusun dan disosialisasikan, lalu dimonitor dan dievaluasi, bukan juga karena alasan konsultan baru “lokal” yang alumni universitas terkenal di luar negeri yang mau membawa perubahan sesuai dengan seleranya, melainkan semata-mata karena pertimbangan kebutuhan yang sesuai dengan kemajuan jaman yang semakin mengglobal dan menggombal, dan didasarkan pada research para ahli kurikulum di negeri ini.” Dan jangan lupa juga loh, Pak instruktur dari lembaga yang memiliki otoritas tertinggi menangani kurikulum di negeri ini juga menyertakan data-data index apa.... gitu yang saya juga ngga hafal namanya.
Tetapi intinya bangsa kita ini sudah jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga lain, bahkan dengan Malaysia sekalipun, yang satu atau dua dekade lalu masih impor guru dari negara kita.” Cerita Pak Umar yang tidak kalah diplomatis dibanding instruktur yang dia ceritakan. “Terus panjenengan percaya gitu aja, ngga nanya kenapa musti berubah nama kalau intinya ngga jauh beda? Toh di lapangan yang kita laksanakan juga sama aja kaya kurikulum sebelumnya. Sudah sesuai atau belum dengan tingkat perkembangan motorik anak kalau memang didasarkan pada research, bagaimana dengan kemampuan kita sendiri sebagai guru yang merasa tidak mendapatkan sesuatu yang harus kita ajarkan selama kita kuliah.” Pak Bakri coba mengejar.
Pergantian kurikulum didasarkan pada penelitian berbagai aspek yang mempengaruhi.
Perubahan diperlukan sebagai pemenuhan kebutuhan relevansi atas tantangan jaman yang terus berkembang secara pesat, kompleks, dan jauh meninggalkan kualitas bangsa kita.
“Sama bagaimana to Pak? KTSP ini jelas beda, wong kita bersama sekolah diberi kesempatan mengembangkan materi, indikator, kegiatan pembelajaran, sampai ke sistem penilaian dan pemilihan sumber kok, bahkan kita berhak memilih kompetensi dasar yang akan kita tuntaskan terlebih dahulu, dan adanya kelonggaran terhadap berbagai lingkup yang bertanda bintang (dalam standar isi) untuk dilaksanakan di semester ganjil atau genap, bahkan bisa tidak kita laksanakan karena pertimbangan kelengkapan fasilitas dan kebutuhan. Kalau sekolah kita sendiri belum bisa mengembangkan kita bisa minta bantuan dari sekolah lain, atau ke dinas pendidikan dech!” jelas Pak Umar tanpa putus layaknya juru kampanye partai yang sebentar lagi mau pemilihan parlemen. “Lagian kalau saya mau protes dan kebanyakan bertanya, rasanya ngga enak Pak. Guru kan tatarannya pelaksana kebijakan bukan penyusun, kritikus, atau bahkan penentu kebijakan.”
Perhatikan tanda (*, **, ***) pada setiap akhir penulisan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada standar isi permendiknas no. 22 tahun 2005, serta perhatikan dan cermati keterangannya.
“Loh Pak, katanya kalau di kegiatan sosialisasi “kesadaran politis” kita juga dibangkitkan Pak? Biar jadi guru itu kritis dan ngga manut grubyuk (ikut-ikutan) gitu....” kali ini nada Pak Bakri agak sinis karena dia tahu betul kebiasaan Pak Umar yang rasa keingintahuannya melebihi tokoh Chelsea pada sinetron para pencari Tuhan garapan Dedy Mizwar yang ditayangkan di bulan puasa lalu. “Lagian kalau betul seperti yang Pak Umar jelaskan tadi, apa yang bikin tambah susah jadi guru? Kalau saya pikir......., ternyata komitmen kita untuk secara sungguh-sungguh melaksankan standar profesi kita yang membuat kita merasa kesulitan. Sebenarnya kan kita sebagai guru “olahraga” memang dipersiapkan untuk melaksanakan pembelajaran seperti yang diharapkan pada kurikulum yang sekarang ini kan? Saking aja kita suka ngga pede, walaupun kita sadar sepenuhnya memang masih banyak kekurangan, dan karena itulah kita memilih untuk menjadi guru biar setiap saat mau belajar dan belajar terus.” kali ini Pak Bakri yag seolah-olah menjadi instruktur sosialisasi.  “Gimana kita bisa pede?...., kita ini, bahkan teman-teman kita “orang penjas” yang kerja di berbagai instansi kependidikan sering kali “dimatikan” oleh pihak-pihak tertentu yang sebenarnya ngga paham penjas tetapi punya kekuasaan. Istilahnya, ya.... kita ini jadi “mati sebelum mati”,” kilah Pak Umar.  “Saya sebenarnya setuju Pak, apa yang telah kita lakukan ya itulah yang dimaui kurikulum. Tapi, sepulang dari kegiatan kemarin saya berusaha buka kembali dokumen, ternyata setelah saya itung-itung, saya sepertinya baru bisa melaksanakan kompetensi dasar yang ada pada lingkup olahraga dan permainan meliputi atletik, bola besar, bola kecil, beladiri itupun fifty-fifty, lingkup uji diri baru yang sangat dasar, tapi untuk aktivitas air kita ngga punya sarana walaupun bisa, aktivitas pengembangan ok, sisanya aktivitas ritmik dan pendidikan luar kelas rasanya saya tidak cukup mampu karena memang pembekalan untuk kita kurang, apalagi kesehatan rasanya itu bukan kerjaan guru, dan bukan saja pekerjaan seorang dokter, tapi juga penyuluh kesehatan, pemadam kebakaran, bahkan basarnas, saya tidak tahu seks bebas, karena saya ngga penah merasakan he...he...” keluh Pak Umar sambil nyengir. “Terus kalau sudah begini, kita pasang target ketuntasan belajar anak-anak kita berapa persen ya Pak?” Pak Umar balik bertanya. “70% atau 80% aja Pak!” seru Pak Bakri “Dasarnya apa Pak, terus itu berdasarkan kata siapa Pak?” tanya Pak Umar lagi.
“Kate siape kek! Situ yang sosialisasi, kok situ yang tanya.” jawab Pak Bakri agak kurang ajar dengan gaya sok Betawi karena memang dia pernah kerja sebagai “pengepool” besi bekas di daerah Pulogadung Jakarta Timur.
“Kate siape donk......?” tiba-tiba terdengar suara dari Ibu Beki guru BK yang ngakunya sebagai konselor yang memang biasa “nguping,” mencampuri urusan orang lain, dan hobi nyeletuk kalau ada orang ngomong.
“Iye, ye, kate siape ye.....? Jadi malu ike.” tutur Pak Umar yang memang punya bakat “ngebencong” pergi keluar ruang guru sambil “nenteng” buku absen.
Batas ketuntasan hasil belajar siswa ideal adalah 100%
Penentuan batas ketuntasan pada masing-masing mata pelajaran, serta masing-masing sekolah bisa saja berbeda Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah; kemampuan awal siswa, cakupan dan kompleksitas kompetensi, kebutuhan akan kompetensi dalam kehidupan nyata (kontekstual), serta potensi pendukung dan penghambat
Persentasi dari ketuntasan ideal dapat dihitung melalui; 1. berapa persen dari keseluruhan standar kompetensi, 2. berapa persen dari keseluruhan kompetensi dasar, atau 3. berapa persen dari keseluruhan hasil belajar siswa yang ditunjukkan dalam satu kompetensi dasar oleh seluruh indikator yang harus diperlihatkan oleh siswa
(Bersambung)
Sumber : Sugito Adi Warsito, S.Pd Insruktur Penjas PPPPTK Penjas dan BK

Rabu, 28 Juli 2010

RUMUS KKM PENJASORKES

MENAFSIRKAN KRITERIA MENJADI NILAI
A.    Dengan memberikan point pada setiap kriteria yang ditetapkan :
Indikator
Tinggi
Sedang
Rendah
Ket
1. Kompleksitas
1
2
3

2. Daya dukung
3
2
1

3. Intake
3
2
1

Jika indikator memiliki Kriteria : kompleksitas rendah, daya dukung tinggi dan intake siswa sedang à nilainya adalah:   (3 + 3 + 2) x 100 = 88.89

MENAFSIRKAN KRITERIA MENJADI NILAI
B.     Dengan menggunakan rentang nilai pada setiap kriteria:
Indikator
Tinggi
Sedang
Rendah
Ket
1. Kompleksitas
50-64
65-80
81-100

2. Daya dukung
81-100
65-80
50-64

3. Intake
81-100
65-80
50-64

Jika indikator memiliki Kriteria : kompleksitas sedang, daya dukung tinggi dan intake sedang à nilainya adalah rata-rata setiap nilai dari kriteria yang kita tentukan.
Dalam menentukan rentang nilai dan menentukan nilai dari setiap kriteria perlu kesepakatan dalam forum KKG di Sekolah.

MENAFSIRKAN KRITERIA MENJADI NILAI
C.     Dengan memberikan pertimbangan professional judgment pada setiap kriteria untuk menetapkan nilai :
Indikator
Tinggi
Sedang
Rendah
Ket
1. Kompleksitas
v
v
v

2. Daya dukung
v
v
v

3. Intake
v
v
v

  
Contoh :
  Jika indikator memiliki Kriteria : kompleksitas rendah, daya Dukung tinggi dan intake siswa sedang à maka dapat dikatakan hanya satu komponen yang mempengaruhi untuk mencapai  ketuntasan maksimal 100 yaitu intake sedang. Jadi guru dapat mengurangi nilai menjadi antara 90 – 80.




CONTOH : FORMAT A
Kompetensi dasar dan Indikator
Kriteria Ketuntasan Minimal
Kriteria Penetapan Ketuntasan
Nilai KKM
Kompleksitas
Daya dukung
Intake
1.1. Mendeskripsikan hakikat lari sprint 60 meter
Ø  Mendeskripsikan sikap start lari sprint 60 meter
Ø  Menguraikan pengertian sikap badan saat lari sprint 60 meter
Ø  Menganalisis pengertian sikap start dan lari sprint 60 meter

Rendah
3
Tinggi
1
Sedang
2


Tinggi
3
Sedang
2
Tinggi
3

Sedang
2
Sedang
2
Sedang
2
74
 





















Sabtu, 10 Juli 2010

Misi Departemen Pendidikan Nasional

Misi Departemen Pendidikan Nasional
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Selaras dengan Misi Pendidikan Nasional tersebut,
Depdiknas untuk tahun 2005 – 2009 menetapkan Misi sebagai berikut:
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG MAMPU MEMBANGUN INSAN INDONESIA CERDAS KOMPREHENSIF DAN KOMPETITIF.


Tabel 2.1.
Insan Cerdas Komprehensif dan Kompetitif

Makna Insan Indonesia Cerdas Komprehensif
Cerdas
spiritual
• Beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Kompetitif
• Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan
• Bersemangat juang tinggi
• Mandiri
• Pantang menyerah
• Pembangun dan pembina jejaring
• Bersahabat dengan perubahan
• Inovatif dan menjadi agen perubahan
• Produktif
• Sadar mutu
• Berorientasi global
• Pembelajar sepanjang hayat
Cerdas
emosional & sosial
• Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
• Beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang:
– membina dan memupuk hubungan timbal balik;
– demokratis;
– empatik dan simpatik;
– menjunjung tinggi hak asasi manusia;
– ceria dan percaya diri;
– menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta
– berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Cerdas
intelektual
• Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
• Aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Cerdas
kinestetis
• Beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas.
• Aktualisasi insan adiraga.

Makna Insan Indonesia Kompetitif
     Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan
     Bersemangat juang tinggi
     Mandiri
     Pantang menyerah
     Pembangun dan pembina jejaring
     Bersahabat dengan perubahan
     Inovatif dan menjadi agen perubahan
     Produktif
     Sadar mutu
     Berorientasi global
  _Pembelajar sepanjang hayat

Rabu, 07 Juli 2010

Peran Pelatih dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Olahraga

Sahabat di GWK Bali 2009

PERAN PELATIH DALAM KEGIATAN EKSTRAKURIKULER OLAHRAGA DI SEKOLAH
Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi disebutkan bahwa  kegiatan ekstrakurikuler termasuk bagian dari kegiatan Pengembangan Diri.
PENDAHULUAN
    Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi disebutkan bahwa  kegiatan ekstrakurikuler termasuk bagian dari kegiatan Pengembangan Diri. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,  minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah. Sedangkan kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.  
    Visi kegiatan ekstrakurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik  yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Misinya yaitu:
1)    Menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka.
2)    Menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan  diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok.
         
Kegiatan ekstra kurikuler yang biasanya diselenggarakan di sekolah biasanya meliputi kegiatan:
1)    Bidang science, misalnya: Kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja
2)    Bidang art, misalnya: melukis, paduan suara, band
3)    Bidang skill, misalnya: pramuka, paskibraka, PMR (Palang Merah Remaja)
4)    Bidang sport, misalnya: sepakbola, bola basket, bolavoli, pencak silat
       
Dari berbagai macam kegiatan ini peserta didik diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,  minat, kondisi dan perkembangan peserta didik. Keikutsertaan peserta didik dalam kegiatan ekstrakurikuler biasanya dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu:
1)    Dorongan dari dalam (intrinsik), misalnya: keinginan dari lubuk hati didasarkan kepada potensi, minat dan bakat
2)    Dorongan dari luar (ekstrinsik), misalnya: pengaruh teman, orang tua
       
Peranan konselor, guru dan atau tenaga kependidikan lain sesuai dengan kemampuan dan kewenangnya diperlukan dalam memberikan arahan dan bimbingan agar peserta didik dapat memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,  minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, agar kegiatan ekstrakurikuler dapat menjadi salah satu pijakan pengembangan diri peserta didik dalam meniti karier di masa depan.
Dari empat bidang kegiatan ekstrakurikuler di atas, penulis akan mengupas tentang kegiatan ekstra kurikuler olahraga,khususnya tentang peranan pelatih dalam kegiatan itu.
PELATIH
     Dalam bahasa Inggris istilah pelatih olahraga di sebut coach, sedangkan pekerjaan melatihnya di sebut coaching. Pelatih adalah seseorang yang memberikan latihan keterampilan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelatih olahraga adalah seseorang yang memberikan latihan keterampilan berolahraga tertentu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, pelatih minimal harus dapat membuat perencanaan, pengelolaan dan evaluasi latihan. Sekilas mengenai latihan (Bompa:1988) membagi program menjadi 3 periodisasi : periode latihan, periode pertandingan/kompetisi dan periode transisi.
    Kehidupan pelatih sama dengan masyarakat pada umumnya yang mempunyai falsafah hidup masing–masing. Falsafah menurut Martin and Lumsden (1987) adalah suatu sistem dari prinsip–prinsip yang dipakai untuk membimbing orang dalam kegiatan–kegiatannya, .......a system of principles for guidance in practical affairs.
    Kalau kita bicara mengenai falsafah coaching, kita bicara mengenai suatu perangkat sikap, atau prinsip – prinsip dasar menuntun tabiat dan perilaku pelatih di dalam situasi praktek. Ada pelatih yang falsafah coachingnya adalah ”memenangkan setiap pertandingan”, maka sikap dan perilakunya serta cara menangani olahraga dan peserta didiknya tercermin dalam falsafah tersebut. Berbeda dengan pelatih yang falsafahnya adalah ”menanamkan kepribadian dan perilaku  yang baik” pada peserta didiknya. Penanganannya juga akan berbeda dengan pelatih yang falsafahnya lain. Kombinasi falsafah  coaching untuk mencapai tujuan melatih mutlak diperlukan agar prestasi dan sikap sportif dapat tergapai secara sinergi.
    Dengan mengobservasi perilaku para peserta didik, kita biasanya akan dapat mengetahui falsafah pelatihnya. Gaya permainan para peserta didik, rasa hormat yang diperlihatkan kepada ofisial dan lawan–lawannya, bahasa yang digunakan, perilaku di luar lapangan, kesanggupan untuk mengatasi stres pertandingan, semangat bertanding, kesetiaan terhadap teman dan timnya, stamina serta kostum pertandingan , itu semua dapat merupakan sebagian dari indikator–indikator yang mencerminkan falsafah pelatihnya. Perilaku para peserta didik juga dapat mencerminkan apakah pelatihnya menganggap disiplin dan perilaku moral yang baik penting bagi timnya, like father like son and like coach like athlete.

TUGAS, PERAN DAN KEPRIBADIAN PELATIH
Gelar coach atau pelatih adalah gelar atau sebutan yang memancarkan rasa hormat, respek, status dan tanggung jawab. Gelar coach seringkali bisa berlanjut meskipun tugas sebagai coach sudah usai. Sekali kita coach, selamanya  kita adalah coach bagi peserta didik kita, bagi rekan dan bagi masyarakat.
Peserta didik menganggap bahwa seorang pelatih adalah ahli dalam segala hal dan pandai memainkan peran sesuai dengan kecabangan olahraganya. Dan banyak peserta didik yang ingin seperti pelatihnya kalau kelak ia menjadi pelatih, terutama bagi pelatih yang sukses prestasi dan berkepribadian, tetapi ada juga peserta didik yang bersumpah tidak akan berbuat seperti pelatihnya dulu, biasanya pelatih yang gagal dan berkepribadian buruk. Akan tetapi apa yang diperoleh dari pelatihnya akan senantiasa membekas pada peserta didik.
Pelatih mempunyai peran sebagai guru, bapak dan teman. Sebagai guru ia disegani, sebagai bapak ia dicintai dan sebagai teman ia yang dipercaya menjadi tempat mencurahkan hati (curhat)  .
Di bawah ini akan diuraikan beberapa tugas utama dan kepribadian yang perlu diperhatikan oleh seorang pelatih.

1.    Perilaku
        Pertama–tama perilaku pelatih haruslah bebas dari cela dan cerca. Dia harus ingat bahwa baik anak didiknya maupun masyarakat memandang dirinya sebagai seorang manusia model (role model). Hampir setiap gerak pelatih akan diamati oleh peserta didik maupun oleh masyarakat. Pelatih harus hidup dengan falsafah sebagaimana yang dia minta dari peserta didik; dia harus mendemonstrasikan nilai–nilai yang diajarkannya. Pelatihan olahraga dalam kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh seorang pelatih di sekolah juga harus dapat mentransformasi nilai–nilai perilaku yang baik kepada peserta didiknya, sehingga peserta didik akan bersifat sportif, hormat dan menghargai lawannya.

2.    Kepemimpinan
        Pelatih harus dapat bersikap tegas, tidak meragukan, apalagi mencurigakan. Seorang coach yang baik akan selalu memperlihatkan wibawanya sebagai seorang pemimpin dan sifatnya sebagai orang yang sportif, meskipun timnya dalam kondisi kritis, meskipun peserta didiknya banyak melakukan kesalahan, meskipun keputusan wasit dirasakan berat sebelah. Keteguhan sebagai seorang pemimpin harus tetap dipegang , baik setelah kemenangan maupun kekalahan. Pelatih harus dapat mengambil peran yang tepat pada saat latihan maupun pertandingan dalam kondisi sesulit apapun, sebab peserta didik (di sekolah) akan turut komando pelatihnya. Apalagi dalam pertandingan olahraga antar sekolah yang rawan tawuran, kepemimpinan pelatih sangat penting dalam mencegah hal–hal buruk yang akan terjadi.

3.    Pengetahuan dan keterampilan
        Tinggi rendahnya prestasi peserta didik banyak tergantung dari tinggi rendahnya pengetahuan dan keterampilan pelatihnya. Ungkapan ini sangat tepat sebab pengetahuan pelatih tentang bentuk–bentuk formasi permainan, strategi pertahanan dan penyerangan haruslah sedemikian rupa sehingga hampir tidak mungkin regu lawan akan dapat mengacaukan regunya dengan suatu penyerangan atau pertahanan yang tidak dikenalnya. Dalam pertandingan–pertandingan antar sekolah, kelebihan pengetahuan dan keterampilan pelatih akan sangat membantu kesuksesan tim olahraga sekolah tersebut. 

4.    Keseimbangan Emosional
        Kesanggupan untuk bersikap wajar, lugas, dan layak dalam keadaan tertekan atau terpaksa merupakan suatu ukuran keseimbangan emosional dan maturitas seseorang. Dalam tugas kita sebagai pelatih yang berfungsi sebagai pembimbing dan pengasuh peserta didik (Siswa di sekolah) yang merupakan anak–anak muda yang dalam keseimbangan emosional yang belum matang, penting bagi kita untuk tetap berkepala dingin, bukan hanya pada waktu latihan dan pertandingan, akan tetapi di luar itu. Sudah wajar kalau ada situasi–situasi yang dapat menimbulkan marah dan frustasi pada kita. Dan wajar pula kalau reaksi kita adalah marah dan frustasi, karena hal itu adalah emosi manusiawi. Akan tetapi yang perlu kita perlihatkan adalah bahwa dalam situasi demikian itu, kita tetap dapat mengendalikan emosi kita, terutama sekali emosi peserta didik kita menghadapi situasi yang demikian dan bukan melampiaskannya dengan maksud untuk kepuasan kita atau balas dendam.

5.    Humoris.
        Kemampuan untuk membuat orang lain merasa rileks dengan jalan memberikan humor atau lelucon yang sehat dan menyegarkan merupakan faktor penting guna mengurangi ketegangan dan membangkitkan optimisme baru, baik dalam latihan maupun sebelum dan sesudah pertandingan. Perlu diingat bahwa kita melatih peserta didik yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikis, dengan memberikan kegembiraan dalam latihan dengan humor yang sehat akan membawa hasil yang positif bagi perkembangannya. Kalau perlu kita sebagai pelatih belajar bahasa gaul agar interaksi kita dengan mereka menjadi lebih hangat lagi.

Sebenarnya masih banyak lagi kepribadian pelatih yang lainnya, yang dapat kita ungkap dalam edisi majalah kita yang akan datang. Akhirnya mari kita menjadi pelatih yang the best of the best.

Penutup
Terbentang luas pengabdian dan tugas kita di sekolah, di samping kita menjadi guru, pembimbing dapat pula kita berperan sebagai pelatih pada saat kegiatan ekstrakurikuler. Dengan menjadi pelatih olahraga banyak pengalaman dan pembelajaran yang kita dapatkan dan amalkan sesuai dengan bidang kepelatihan kita. Pengalaman yang terpenting adalah interaksi yang terus–menerus dan pengamatan perkembangan dari hasil latihan peserta didik kita, sedangkan pembelajaran yang terpenting adalah kita mempersiapkan peserta didik untuk mengasah minat, bakat dan keterampilan mereka menuju hantaran menjadi peserta didik profesional yang dapat mengharumkan bangsa dan negara. Mampukah kita?

*) Penulis adalah staf Seksi Evaluasi dan Instruktur Penjasorkes PPPPTK Penjas dan BK

DAFTAR PUSTAKA
1.     Permendiknas No 22/2006 tentang Standar Isi.
2.     Drs. Harsono, M. Sc. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching, tahun 1988
3.     PASI, Pengenalan Kepada Teori Kepelatihan, 1993 
4.     Tudor O. Bompa, PhD, Periodization: Theory and Methodology  of Training, 4th edition,tahun 1994.